ULAS KASUS
TENTANG PENGARUH ETIKA BISNIS TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI (Dampak Pencemaran
Lumpur Lapindo Sidoardjo)
Tahun
1976:dalam Pasal 51 KUHP Belanda ditetapkan :- perbuatan pidana dapat dilakukan
oleh perorangan dan oleh badan hukum;- apabila suatu perbuatan pidana dilakukan
olehsuatu badan hukum, tuntutan pidana dapatdilakukan dan pidana serta tindakan
yangtersedia dalam undang-undang dapat dijatuhkan,kepada :-- badan hukum,
atau-- terhadap mereka yg memerintahkan perbuatanserta juga terhadap mereka
yang telah secara nyatamemimpin lakukan perbuatan yang dilarangtersebut, atau--
terhadap yang disebut dalam butir a dan bsekaligus.Dasar-dasar dan ciri-ciri
hukum korporasi:badan yang diakui oleh negara, yang memiliki hak untuk dapat
mempunyai milik bagi tujuan-tujuanumum, hak untuk menuntut dan dituntut
daneksistensinya yang melampaui masa hidup dari paraanggotanya.Secara umum
korporasi memiliki 5 ciri penting:- merupakan subjek hukum buatan yang
memilikikedudukan hukum khusus.- memiliki jangka waktu hidup yang tak
terbatas.- memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis
tertentu.- dimiliki oleh pemegang saham.- tanggung jawab pemegang saham
terhadap kerugiankorporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Perspektif
Dampak Pencemaran Lumpur Lapindo Sidoardjo sebagai Bukti Pencemaran Terhadap
Lingkungan Hidup Serta Analisa Berbagai Permasalahannya
A. LATAR
BELAKANG
Telah
terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada
Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas
hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi
Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa
semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter.
Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan
warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga
bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah
memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya.
Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup[1],
dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati
lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol
Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas.
Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi
di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345
jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala
Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa
Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.
Didalam
kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM),[2] dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat
dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat
dibayangkan, terdapatnya ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian,
produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan
datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.
Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009 terhadap penegakan hukum atas kasus
lumpur Lapindo tak kunjung dapat terselesaikan dengan secara damai. Kebijakan
politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat.
Dari berbagai aspek yang seharusnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya PT
Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang mencakup aspek pelanggaran hak
asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana. Lambannya penyelesaian
kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang ditempuh oleh
masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT
Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut.
Berkaitan
terhadap kasus tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk untuk mewakili korban
Lumpur Lapindo melakukan menuntut terhadap PT Lapindo Brantas Inc, yang terkait
dengan kejahatan Lingkungan Hidup dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur
panas. Melalui Public Inquiry (pemberitahuan kepada masyarakat) terhadap
pihak-pihak yang bertanggung jawab secara politik dan hukum untuk memberi ganti
kerugian terhadap kasus Lumpur Lapindo tersebut.[3]Berdasarkan
fenomena-fenomena inilah penulis berusaha menuangkan fikiran, danserta
memberikan cara berfikir dengan dasar landasan hukum yang berlaku, agar para
pencari keadilan agar tidak salah melangkah didalam menentukan sikap dalam
memperjuangkan hak-haknya yang berdasarkan rasa keadilan.
B. TUJUAN
DAN MAKSUD
Menganalisa
terhadap kasus yang terjadi dari kebocoran gas berserta luapan Lumpur panas
adalah bertujuan untuk mengetahui secara mendalam dengan maksud siapa-siapa
yang bertanggung jawab terhadap kasus tersebut dalam hubungan terhadap instansi
terkaitan yang telah berkoordinasi dalam hal perizinan, dan terdapat statement
yang menyatakan didalam pemeriksaaan yang dilakukan oleh Penyidik Polda Jawa
Timur terhadap saksi ahli dari BMG[4], dengan menyatakan telah terjadinya
kelalaian yang merupakan kesengajaan Lapindo, akibat dari dampak besar bagi
lingkungan dan kerugian cukup besar bagi masyarakat yang merupakan bencana
ekologi[5], di Sidoarjo, Surabaya Jawa Timur.
B.
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Kerangka
Teori dan Konsep, berdasarkan Difinisi H.L.A.HART yang Menyatakan: Bahwa ”suatu
konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang berpusat kepada
keajiban tertentu didalam gejala-gejala hukum yang tampak dari kehidupan
bermasyarakat ”.
Dan
terhadap “Kejahatan Korporasi“, Sally S. Simpson menyatakan “corporate crime is
a type of white-collar crime”. Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite,
mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai“conduct of a corporation, or
employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable
by law”.
Achmad
Santosa : (Good Governance Hukum Lingkungan : 2001)mengatakan, ”kejahatan
korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan
rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi
korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997 ”.
D.
LANDASAN HUKUM
Kerangka
dasar yaitu UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara
Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
TAP MPR IX/MPR/2001 Uraian 116D dan 116 E, dan Peraturan Pemerintah RI No.51
Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP No. 51 Tahun 1993
KEPMEN LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan (KEPMEN LH
No. 11 Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13 Th 1994, KEPMEN LH
No. 14 Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN LH No. 42 Th 1994, KEPKA
BAPEDAL No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54 Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995,
KEPMEN LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No.
299/BAPEDAL/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun) :
PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ;
PENCEMARAN AIR : PP RI. No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No.
42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA :
KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN
LH. No. 50/MENLH/11/1996.
Dalam Bab
IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang
melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila
badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain
terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan Inpres No. 1/1976 tentang
sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan,
pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967.
Lokasi pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003.
E. METODE
PENELITIAN
Didalam
penulisan makalah ini, penulis hanya menggunakan data primair yang terdiri dari
bahan-bahan Pengetahuan lapangan akibat dampak pencemaran yang dari akibat
luapan lumpur panas disertai dengan gas beracun, serta bahan Pengetahuan Hukum
primair yaitu produk-produk hukum undang-undang yang terkait yang mengatur
dampak pencemaran lingkungan hidup, yang terdiri dari Kebijakan Dasar dan
Kebijakan Pemberlakuan dari kebijakan pemerintah didalam menjalankan
kekuasaannya, dan berupa bahan-bahan dari arikel di Web Site dan media cetak
lainya yang berkaitan dengan judul makalah tersebut diatas.
F.
PERUMUSAN MASALAH
Terdapat
beberapa permasalahan yang sering diabaikan, didalam penerapan hukum terhadap
dampak pencemaran lumpur lapindo yang didalam prakteknya belum memenuhi rasa
keadilan :
1. Apakah
yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan, terhadap suatu badan
hukum/Perusahaan yang sudah menganggap peusahaan tersebut tidak mampu
membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak
yang dirugikan tersebut ?
2. Jika
memang demikian sampai seberapa jauhkah tanggung jawab dari pemerintah untuk
mencari solusi dalam masalah korban lumpur lapindo, jika melihat keterkaitan
dari Instansi Pemerintah yang telah memberi ijin terhadap perusahaan yang
melakukan pemboran gas tersebut ?
3. Mengapa
gugatan dari korban lumpur lapindo tidak melalui gugatan Class Action yang
dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/ Lembaga Perlindungan
Konsumen Indonesia atau yang sejenisnya ? mengingat gugatan Class Action harus
diwakili oleh Suatu yang berbentuk Badan Hukum ?
G. ASUMSI
Asumsi
sementara dari penulisan makalah dari ini, adalah sebagai berikut :
1. Jika
luapan Lumpur lapindo di difinisikan sebagai bencana alam, maka kerusakan yang
terjadi tersebut tidak didasari adanya suatu kegiatan disekitar lokasi/obyek
bencana tersebut, bukanlah disebabkan oleh suatu bencana yang terjadi karena
proses alam, akan tetapi luapan Lumpur lapindo berserta dengan gas beracun
adalah disebabkan karena ketidak hati-hatian dari manusia, karena adanya
kegiatan pemboran, yang seharusnya proses didalam pengerjaannya pemboran
tersebut harus sesuai dari apa yang tertuang didalam proposal kegiatan pemboran
dengan melalui suatu penelitian yang terperinci dan sedetail-detailnya.
2.
Kegiatan pemboran yang dilakukan oleh suatu badan hukum yang mendapat ijin dari
Pemerintah terkait, dan jika perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit
yang dengan melalui prosedur peradilan yang menyatakan perusahaan tersebut
dinyatakan pailit dengan suatu penetapan, maka dalam hal ini sudah seharusnya
Pemerintah terkait yang memberi ijin tersebut (berdasarkan Proposal), harus
mencarikan solusi atau jalan keluar untuk kehidupan masyarakat yang terkena
bencana lumpur lapindo tersebut. Pemerintah yang terkait, yang berdasarkan
kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan dari kasus luapan Lumpur lapindo,
maka berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan sudah dianggap
telah tidak melaksanakan amanat dari UU Dasar 1945 dan UU Hak Asasi Manusia
(Konfensi Intenasional), yang telah mengenyampingkan produk hukumnya sendiri
yaitu UU tentang Lingkungan Hidup (AMDAL) dan peraturan-peraturan lainnya yang
terkait dengan bencana tersebut.
LUAPAN
LUMPUR LAPINDO DIDASARI KEPADA METODE PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM
Peristiwa
luapan Lumpur lapindo disebabkan karena terjadinya kelalaian atau human error
didalam melakukan pengeboran disidoarjo, Surabaya Jawa Timur.
A
Peristiwa Terjadinya Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Peristiwa
luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur yang terjadi pada tanggal
28 Mei 2006 kira-kira pukul 22.00, disebabkan kebocoran gas hidrogen sulfida
(H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji
perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih
dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut
disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. Semburan lumpur
panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan
yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan
sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin
(19/6/06) melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah
dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula
dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus
ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat
WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru
sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi
Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari
1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala
keluarga dengan rincian 660 jiwa.
Bencana
luapan Lumpur lapindo didasari aspek politis, yang merupakan sebagai legalitas
usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dimana Lapindo telah mengantongi izin
usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah
sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.Berdasarkan poin
tersebut dalam kaitannya pada kasus luapan lumpur panas, pemerintah Indonesia
telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya,
dimana seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada
swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma
korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut
kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana
ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan
lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti contoh kasus pada
kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan
Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26
petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002)
karena eksplorasi Premier Oil.18, yang terakhir tepat 2 bulan setelah tragedi
semburan lumpur lapindo Sidoarjo, sumur minyak Sukowati Desa Campurejo,
Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati
harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East
Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu
menahu penyebab terjadinya kebakaran. Penjualan aset-aset bangsa oleh
pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam
perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu
privatisasilah yang mendominasi setiap kasus pada dampak pencemaran lingkungan
hidup.
B. Timbul
Dampak Akibat Pencemaran Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Akibat
Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang
rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi
saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung
bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius
seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium
terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas.
Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air
terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat
membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek
kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.
Dalam Kasus
Luapan Lumpur Lapindo dapat dianggap sebagai Kejahatan Korporasi, sesuai dengan
Landasan Hukum, dimana pada Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana
(penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran.
Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti
melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum,
juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam
perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur
dalam UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Begitu juga dari aspek
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut Walhi, bahwa PT Lapindo
Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi,
sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja
kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan
(bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan
perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada saat sekarang ini, terhadap
penegakan hukum atas kasus luapan lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya
kebijakan politik yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan
masyarakat.
Berdasarkan
pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT
Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak
asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian
kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public
inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan
Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas In
dengan menugaskan Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk
menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan
pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas
yang beracun. Ada beberapa pendapatmengenai penyebab bocornya gas yang disertai
meluapnya lumpur Lapindo yang telah dijelaskan tersebut diatas.
C Fungsi
Hukum Sebagai Sosial Kontrol Terhadap Dampak Pencemaran Lumpur Lapindo
Sidoarjo.
Peristiwa
luapan lumpur lapindo sidoarjo yang disebabkan karena tidak terdapatnya sosial
kontrol serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari
akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang diatur oleh UU No. 23 Tahun
1997, dan berkaitan dengan masalah tersebut Walhi sebagai wadah pengamat yang
mempunyai tugas dan fungsi terhadap lingkungan hidup yang seharusnya lebih
serius untuk mengamati gejala-gejala yang terjadi di sidoarjo surabaya jawa
timur. Dimana kelalaian yang telah terjadi yang menyebabkan luapan lumpur panas
tersebut adalah merupakan sudah menjadi tugas pemerintah untuk melaksanakan
ketentuan UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004
tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air
dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana..
Sudah menjadi
kewajiban dari Pemerintah terkait untuk merevitalisasi dari korban-korban serta
dampak dari luapan lumpur lapindo tersebut terhadap keharusan dari PT Lapindo
untuk memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh masyarakat
maupun perusahaan-perusahaan yang berada disekitar luapan lumpur sidoarjo,
surabaya jawa timur. Terhadap suatu kejahatan korporasi dapat dituntut atau
dikenakan sangsi pidana serta penuntutan ganti kerugian yang berdasarkan
Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Lingkunga Hidup yang didalam pasal 29
ayat 5, yang berdasarkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat ini merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya
perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan. Kemudian dalam pasal 30
ayat 1, 2 dan 3 menyatakan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang
bersengketa, dengan maksud untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda
mengenai suatu sengketa lingkungan hidup dan untuk menjamin kepastian hukum.
D. Sangsi
Hukuman Berupa Tuntutan Sangsi Pidana dan Perdata serta Sangsi Administratif
Terhadap Badan Hukum yang telah Melakukan Kelalaian.
Terdapatnya
aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No. 85/1999
mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc,
baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat
dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa
dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja
masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak
terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.Yang sampai
sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur Lapindo tak kunjung
ada kejelasannya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana (criminal liability)
dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention
giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut
bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi
yang diembannya di dalam suatu perusahaan.
Melihat
kepada data-data serta fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin
eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk
pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan,
prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga
pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan
lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan
cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan
kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok
penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu.
Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000
tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …” Penegak HAM harus memahami
tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The
International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang
kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang
kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000.
Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1)
Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu : “Other
inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or
serious injury to body or to mental or physical health”.
Sebagimana
pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana luapan Lumpur panas Lapindo sidoarjo,
dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelakudalam Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh
Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai
dengan Pasal 48. Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai
hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang
berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan
hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan
berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atau yang
telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum
dapat diatasi..
Sedangkan
terhadap sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan
sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat di
ancam pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15
tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp.
500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh
pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait. Sesuai dengan
kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai
akibat tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan
terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran
terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkait yang telah memberi
perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.
Walaupun
sudah jelas pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan
hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasi segala kegiatan yang
membawa dampak lingkungan hidup, yang sudah pasti akan berdampak negatif
terhadap kehidupan manunusia, begitu pula terhadap pengaturan sanksi
administrative dan sanksi pidananya.
E. Gugatan
Class Action Sebagai Upaya untuk Melaksanakan Penuntutan Terhadap PT.Lapindo di
Sidoarjo
Tindakan
Gugatan Class Action dimana dasar hukum yang diajukannya adalah pasal 1365 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa “setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian, mengganti kerugian tersebut.”? Untuk dapat dikatakan sebagai
Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya
perbuatan melawan hukum.
2. Adanya
unsur kesalahan.
3. Adanya
kerugian.
4. Adanya
hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh
kesalahan seseorang.
Terdapat
unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur
yang dianggap :
1.
Bertentangan dengan hak orang lain.
2.
Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
3.
Bertentangan dengan kesusilaan.
4.
Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat
mengenai orang lain atau benda.
Unsur-unsur
yang pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu
perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu
perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan
hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang
lain dan kewajiban hukumnya sendiri. Berkaitan dengan kasus tersebut, banyak
masyarakat konsumen merasa dirugikan dengan masalah kualitas pelayanan. Mengenai
masalah kualitas pelayanan, pihak Komparta telah melakukan riset di wilayah
Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
Dari kelima wilayah, pihak Komparta menemukan bahwa banyak konsumen air minum
yang dirugikan khususnya dengan adanya berbagai persoalan mengenai kualitas
pelayanan yang tidak memadai. Kedua, masalah teknis juga terkadang dialami oleh
para konsumen.
Masalah
teknis itu seperti masalah indikasi kebocoran dan juga selain itu juga mengenai
persoalan aktivitas dari pihak perusahaan air minum itu banyak merugikan
masyarakat atau lingkungan sekitarnya, misalnya dalam persoalan mengenai
penanaman pipa, kelambanan memperbaiki galian. Semua hal itu melandasi bahwa
masyarakat konsumen ini banyak mengalami kerugian-kerugian selama
pelayanan-pelayanan maupun dari sisi kebijakan-kebijakan yang dilakukan dan
juga dirasakan oleh masyarakat konsumen. Menyalahi UUPKI ? Menanggapi gugatan
itu, kuasa hukum para tergugat dari kuasa hukumnya Gubernur DKI jakarta dan DPRD
DKI Jakarta menilai bahwa gugatan yang dilayangkan LSM Komparta tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dimana
kuasa hukum tergugat mendalilkan pendapatnya pada pasal 46 ayat (1) UUPK.
Berdasarkan ketentuan ini gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh (1) seorang konsumen; (2) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama; (3) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, dan (4)
pemerintah atau instansi terkait. Tergugat sepakat bahwa gugatan Komparta dapat
dikategorikan sebagai gugatan yang diajukan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat. Namun, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagai
gugatan class action. Berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf UUPK, lembaga
konsumen swadaya masyarakat (yang mengajukan gugatan) haruslah berbentuk badan
hukum atau yayasan.
Berdasarkan
penelusuran tergugat, Komparta baru dideklarasikan pada 21 Maret 2003 dan
beranggotakan 17 orang, dimana organisasi tersebut memang mempunyai struktur
kepengurusan, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga. Tetapi dari segi
yuridis, Komparta belum masuk kategori badan hukum atau yayasan. Sebab,
ternyata Komparta baru terdaftar di kantor notaris di Jakarta. Sudaryatmo,
Divisi Litigasi YLKI, berpendapat bahwa ketentuan pasal 46 di atas harus
dilihat sebagai upaya pembuat undang-undang menciptakan lembaga konsumen
swadaya masyarakat yang baik. Lembaga yang mewakili konsumen harus benar-benar
menunjukkan kiprahnya sehingga layak disebut mewakili konsumen.Seingat
Sudaryatmo, ketentuan di atas merujuk ketentuan serupa di Belanda. Di lembaga
konsumen yang menggugat mewakili konsumen harus secara riil membuktikan
kiprahnya. Status organisasi harus mencantumkan kegiatan mereka di bidang
perlindungan konsumen.
Namun
demikian dalam putusan sela pertama, hakim menolak eksepsi dari para pihak
tergugat tersebut, demikian juga pada sebelum putusan akhir dibacakan majelis
hakim pun menolak materi eksepsi dari. Para Tergugat berpendapat dalam
eksepsinya bahwa gugatan Penggugat seharusnya dilayangkan ke PTUN, bukan ke
Pengadilan Negeri, sehingga pada akhirnya majelis hakim mengabulkan tuntutan
dari para pihak Penggugat yang diwakili oleh LSM Komparta tersebut. Berkaitan
dengan kasus-kasus class action tersbut diatas dan juga perkara Class Action
yang ada di Indonesia, seperti pada sidang gugatan Class Action Korban Tahun
1965. Pada sidang gugatan class action korban-korban orde baru pada tahun 1965
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/diganggu sekelompok orang yang
mengatas namakan kelompok keagamaan dan nasionalisme. Sunarno, 71 tahun eks
tapol yang saat ini menjadi Dewan Pengurus Pusat Lembaga Penelitian Korban
Peristiwa 1965, menyatakan hanya menuntut hak mereka dan tidak ingin
macam-macam. “Kami merasa tidak bersalah tapi dipersalahkan begitu
saja,”katanya. Selain itu menurut Sunarno kedatangan eks tapol-napol secara
berombongan bahkan dari daerah pada acara persidangan tersebut dikarenakan
mereka ingin mengetahui pengadilan tersebut akan meluruskan orang-orang yang
tidak pernah dinyatakan salah dalam pengadilan. “Kalau salah, ya, salah, tapi
biar nanti pengadilan yang menentukan. Menanggapi sikap sekelompok orang yang
mendomo gugatan para korban kekejaman orde baru itu, Sunarno hanya bisa sabar.
“Terserah itu hak mereka, kami menghormati hak orang, jadi hargailah kami, kami
juga berhak mengajukan gugatan lebih baik saling menghargai hak
masing-masing,”katanya. Dan senada dengan perkataan tersebut, Toga Tambunan
menyatakan harapannya agar haknya sebagai Warga Negara dikembalikan. “Kami
mengharapkan keadilan dari sisi ekonomi, sosial dan budaya dipulihkan, paling
tidak kita setara dengan masyarakat umum dalam perkara hukum,” ujarnya. Menurut
Toga, dia pada usia 13,5 tahun ditahan tanpa pernah diadili dan itu merupakan
kerugian besar bagi seseorang yang di penjara. “Kami dipenjara tapi tidak tau
apa dan siapa yang melakukan hal ini padahal dari sisi hukum mestinya yang
bersalah yang dituntut,” Sebenarnya kejahatan orde baru di bawah Suharto bukan
hanya terjadi pada orang-orang yang disebut PKI, tetapi juga terhadap ummat
Islam dan kelompok-kelompok yang menentang pemerintah diktatorial dan korup.
Berkaitan
dengan kasus-kasus tersebut, penulis mengutip penyataan Wakil Ketua Mahkamah
Agung RI, dalam Pengarahan pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2008 di Jakarta,
Mengenai kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan kasus
Class Action, dimana adanya gugatan yang diajukan oleh beberapa orang mewakili
orang banyak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yang
dikeluarkan oleh Pejabat TUN. Gugatan dimaksud adalah gugatan perwakilan
kelompok (class action), namun permasalahannya adalah apakah sengketa tersebut
merupakan sengketa TUN yang timbul karena dikeluarkannya keputusan TUN. Dimana
keputusan TUN, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pada
intinya, bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu harus bersifat konkrit,
individual dan final (kif). Dalam suatu gugatan class action, wakil kelompok
yang mengajukan gugatan bukan saja bertindak untuk diri mereka sendiri tetapi
juga anggota kelompok yang jumlahnya banyak yang identitasnya ada yang belum
diketahui. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dengan
tegas menyatakan bahwa Penggugat dalam suatu gugatan haruslah orang atau badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN
yakni penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final. Keputusan
TUN yang bersifat individual adalah keputusan TUN yang tidak ditujukan untuk
umum, melainkan tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika yang dituju
tersebut lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan
itu harus disebutkan. Berdasarkan yang telah uraian, gugatan class action tidak
dimungkinkan pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
(TUN).
Terdapatnya
titik singgung dengan Peradilan Umum, dimana Seringkali gugatan pembatalan
suatu sertifikat tanah diajukan oleh seseorang (yang tidak menguasai tanah
sengketa) yang merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkannya sertifikat
tanah dimaksud atas nama orang lain. Dalam sengketa sertifikat tanah tersebut
Hakim haruslah berhati-hati dengan benar-benar mempertimbangkan apakah sengketa
tersebut adalah sengketa TUN ataukah sengketa kepemilikan atas tanah dimaksud
yang menjadi kompetensi Peradilan Umum untuk memeriksa dan memutusnya. Yang
seyogyanya Peradilan TUN dalam memeriksa dan memutus gugatan tentang sertifikat
tanah berpegang teguh pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9
Tahun 2004 yakni : a. Apakah keputusan TUN yang digugat (i.c. sertifikat tanah)
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Apakah keputusan
TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam
permaslahan ini, Hakim harus juga memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang No. 9
Tahun 2004, antara lain keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang No. 9 Tahun
2004, tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut undang-undang
tersebut. Kebijakan Hukum yang harus diambil, pada tanggal 9 September 2006,
Presiden telah menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang didalamnya menyebutkan tim
dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga
infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko
lingkungan paling kecil dan Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjan Umun, dengan tim pengarah
sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan dan seluruh biaya untuk
pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.
Dilakukan
penahanan terhadap tersangka, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka,
yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas,
1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT
Tiga Musim Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig
(alat bor). Dimana tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No
23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan
ancaman hukum 12 tahun penjara, yang secara otomatis UU pencemaran lingkungan
hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup.
ANALISA
PERMASALAHAN
Menganalisa Faktor Internal.
Sebagai
jawaban dari perumusan masalah yang secara factor internal, penulis berusaha
menganalisa permasalahan badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap
perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban
untuk membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut,jika dengan berdasarkan
suatu putusan pengadilan yang didalam pertimbangannya bahwa PT. Lapindo
dianggap pailit, akan tetapi PT. Lapindo tersebut tidak terlepas dari kewajiban
untuk tetap memberi ganti kerugian kepada masyarakat maupun perusahaan yang
mengalami kerugian akibat kecerobohan maupun kelalaian dari Kegiatan pemboran
gas tersebut. Karena mengingat setiap ekplotasi dari pemboran gas tersebut
sudah pasti telah dilakukan jaminan asuransi lokal maupun asuransi
internasional.
Berkaitan
dengan masalah pertanggung jawaban dari akibat luapan Lumpur lapindo, yang
harus bertanggung jawab adalah selain PT. Lapindo, juga Pemerintah Daerah
(Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera mencari solusi atau jalan
keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak pencemaran luapan Lumpur lapindo,
sidoarjo. Hal mana yang keterkaitan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,
didalam hal pemberian izin, yang baik berdasarkan kebijakan ekonomi maupun
kebijakan politis, baik secara internal adalah berupakan sebagai kebijakan
dasar maupun kebijakan pemberlakukan dari Pemerintah daerah dan Pemerintah
Pusat. Karena jika kita melihat ketentuan dari UU No. 23 Tahun 1997 yang telah
diuraikan diatas, yang bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada
korban luapan Lumpur panas sidoarjo adalah sudah merupakan kewajiban dari badan
hukum maupun pemerintah yang terkait yang menimbulkan dampak pencemaran
terhadap lingkungan hidup.
Sehubungan
dengan gugatan Class Action yang diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk
Badan Hukum/Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, yang berdasarkan pada
dasar-dasar Ilmu Psikologis, Ilmu Hukum Pidana maupun Perdata, Politik Hukum,
Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup dan pandangan Filsafat Hukum, dimana
terhadap korban lumpur lapindo dapat dimungkinkan melakukan gugatan Class
Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan/Badan Hukum yang telah
mendapat ijin dari Pemerintah dengan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri.
Melihat dari kasus tersebut bahwa gugatan Class Action adalah yang dianggap
paling efektif untuk menyelesaikan kasus korban Lumpur Lapindo, karena dari
aspek-aspek keilmuannya telah terbuktinya telah memenuhi berbagai unsur, yang
dapat menjadi dasar tuntutan/gugatan ganti kerugian bagi para korban luapan
lumpur lapindo sidoarjo. Dengan tidak terlepas pula dari unsur-unsur pidana
yang dapat dibebankan hukuman yang berlapis, seperti Tindak Pidana Pelanggaran
Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak
Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain
sebagainya.
Menganalisa Faktor Eksternal.
Jika
terhadap realisasi yang berdasarkan factor internal, tidak berjalan dengan
sebagaimana mestinya didalam hal mengenai pengganti kerugian dari para korban
luapan Lumpur Lapindo, Sidoarjo maka secara factor eksternal dimana pandangan
dari dunia internasional bahwa terhadap penerapan sistim hukum di Indonesia,
belum dapat dikatakan menjamin kepastian hukum. Mengingat terhadap kasus yang
sudah jelas-jelas terlihat adanya pelanggaran (secara factor internal) yaitu
adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi
terkait, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi. Maka
sudah dapat dipastikan Negara Indonesia akan mendapat kecaman dari dunia
Internasional karena tidak menjalankan dari apa yang sudah merupakan hasil
keputusan konfensi Internasional. Dan sudah barang tentu pula akan membuat
resah atau adanya keragu-raguan dari para infestor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, karena melihat bahwa undang-undang yang berlaku di
Indonesia tidak dapat menjamin terciptanya kepastian hukum.
Sumber: http://wirya12.blogspot.com/2013/11/ulas-kasus-tentang-pengaruh-etika.html