https://twitter.com/rhezafido8. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Me

Me

CONTOH KASUS MENGENAI ISO 14001

KASUS LIMBAH TAHU ( PN SIDOARJO, 1998)

Perkara ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan yaitu pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh terdakwa Bambang Goenawan, direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo serta diputus PN Sidoarjo Tanggal 6 Mei 1989 Nomor : 122/Pid/1989/PN.Sda
Duduk perkaranya menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 6 November 1988, primer dan subsidair sebagai berikut: terdakwa Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat, lahir di Surabaya, umur 48 tahun, jenis kelamin laki – laki, kebangsaan Indonesia, keturunan China, tempat tinggal JL. Ngagel No. 125 – 127 Surabaya, agama Katolik, pekerjaan Direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo dihadapkan ke pengadilan negeri Sidoarjo dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986 - Juli 1988, di perusahaan PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo yang terletak di desa Sidomulyo. kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo, telah terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup dengan cara terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur yang memproduksi tahu, membuang air limbah ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 3095,4 mg/I dan mengandung COD 12293 mg/I dan juga sebagai pengusaha PT. Sidomulyo yang berupa peternakan babi membuang limbah kotoran babi ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 426,3 mg/I dan mengandung COD 1802,9 sebagaimana hasil dari pemeriksaan air limbah yang dilakukan oleh badai teknik kesehatan Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No. 261/ Pem/ BTKL.Pa/VII/1988. Kandungan limbah tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK Gubernur Jawa Timur No 43 Tahum 1987, yaitu maksimum BOD 30 mg/I dan COD 80 mg/I.
Terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo telah membuat instansi (septictank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut, sehingga kotoran atau limbah meluber keluar dan mengalir ke Kali Surabaya. Pembuangan air limbah tersebut menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan air kekurangan oksigen yang mengakibatkan matinya kehidupan dalam air serta sangat sukar untuk diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM.
Jadi terdakwa Bambang Goenawan didakwa telah melanggar pasal 22 ayat 1  dan 2 Undang – Undang No. 4 Tahun 1982.
Pada tanggal 23 Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi :
Menyatakan terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya melakukan perbuatan menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup – pasal 22 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1982 (dakwaan subsidair).
Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Goenawan selama 6 (enam) bulan dalam masa percobaan 1 (satu) tahun dan denda  Rp 1.000.0000,00 subsidair 2 (dua) bulan kurungan. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp 2.500,00 .
Pledoi penasihat hukum dibacakan pada tanggal 11 Maret 1989 dengan kesimpulan:
1.      Menolak dakwaan dan tuntutan penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (23 Februari 1989).
2.      Menyatakan batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar pasal 143 (3) KUHAP atau menyatakan dakwaan jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus ditolak.
3.      Menyatakan dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum (vide pasal 191 KUHP).
4.      Menyatakan untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide pasal 97 KUHP).
5.      Membebankan biaya perkara ini pada Negara.
Dalam pemeriksaan terhadap Rochim Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo, diperoleh keterangan bahwa diketemukan adanya sejumlah ikan yang mengambang di permukaan air Kali Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang mengambang di permukaan air Kali Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya Kali Surabaya yang disebabkan oleh limbah tahu industri yang dibuang terdakwa ke kali tersebut. Selain banyak faktor yang menyebabkan ikan bisa mati lemas, juga mengingat banyaknya perusahaan lain yang menbuang limbah ke Kali Surabaya.
            Saksi Soekarsono Dirja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Pejabat PDAM Surabaya menyatakan bahwa pernah kadar kimia air Kali Surabaya yang diolah menjadi air minum sangat tinggi, sehingga PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembali kadar air tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh limbah tahu yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya. Yang pasti, kejadian itu akibat dari tercemarnya Kali Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi tidak dapat menentukan , karena pada kenyataannya banyak perusahaan yang membuang air limbah pabriknyaa ke Kali Surabaya.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan pemeriksaan di lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan hasil sebagai berikut:
1.      Di lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit kedelai yang mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju septic tank.
2.      Tidak ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang ditinggal hanya sari air kedelai - diendapkan menjadi tahu. Ampasnya di tampung pada tempat penampungan untuk di konsumsi oleh ternak.
3.      Air cucian atau rendaman diendapkan di beberapa septic tank dialirkan ke selokan menuju danau kecil di lokasi perusahaan.
4.      Dalam pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.
5.      Di sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septic tank yang masing-masing berukuran panjang 4 m, lebar 3 m, dalam 3 m, yang dahulu digunakan sebagai bak penampungan atau pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak digunakan lagi karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan pertama langsung mengalir ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi perusahaan.
6.      Pada kandang babi terdapat 10 petak kandang.
7.      Limbah cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan melalui parit-parit bersemen ke selokan besar lebar 2 m, dalam 1 m, panjang 500 m.
8.      Terdapat septic tank limbah ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas perintah Sekwilda Tingkat 2 Sidoarjo.
9.      Sekarang tidak ada lagi pembuangan limbah dalam keadaan bagaimanapun ke Kali Surabaya karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.
10.  Kedua perusahaan tersebut mempunyai ijin dan mempunyai syarat serta ditinjau Sekwilda Kabupaten Sukoarjo.
11.  Air limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai meluber ke Kali Surabaya, terkecuali hujan turun lebat, mau tidak mau terjadi perembesan dan masuk ke kali Surabaya bersama – sama dengan air hujan
12.  Air yang dipergunakan memproses tahu diambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat ijin dari gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.

Dalam pemeriksaan perkara di temukan ketidaksesuaian alat bukti mengenai besarnya BOD dan COD dari limbah tahu. Perbedaan hasil penilitian laboratorium tentang kadar BOD dan COD yang bervariasi membuat majelis hakim ragu – ragu terhadap kebenaran dari besarnya BOD dan COD tersebut, sehingga ditetapkan asas In Dubio Pro Reo (putusan yang menguntungkan bagi terdakwa) majelis hakim menetapkan bahwa besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam limbah industri tahu terdakwa adalah sebesar 17,54 m/I dan 68,58 m/I sesuai dan seperti hasil penelitian pada Balai Pengembangan dan Penelitian Industri Kanwil Departemen Perindustrian Jawa Timur, Surabaya, tanggal 4 Juni 1988.
Di samping itu, menurut majelis hakim karena tidak adanya hasil penelitian itu sendiri tentang akibat yang timbul dari limbah yang dibuang ke kali, maka kasus tersebut tidak dapat di pertanggungjawabkan kepada terdakwa. Dengan demikian menurut hukum, tidak terbukti limbah yang dibuang terdakwa itu menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup, sehingga perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak kejahatan dan bukan pula merupakan pelanggaran. Oleh karenanya, pada tanggal 6 Mei 1989 putusan PN Sidoarjo:
1.      Menyatakan Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat telah melakukan perbuatan membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
2.      Menyatakan oleh karena itu terdakwa diputus “lepas” dari segala tuntutan hukum.
3.      Membebankan biaya perkara kepada Negara.
4.      Menetapkan surat – sutrat yang diperiksa sebagai alat bukti tetap terlampir dalam berkas.
Berkaitan dengan adanya putusan PN Sidoarjo di atas , Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa baik jaksa maupun hakim sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu hukum pidana, sedangkan pledoi penasehat hukum tidak mengandung argumentasi yang mencerminkan pengusaan materi hukum lingkungan. Kepolisian, Kejaksaan dan juga Penasehat Hukum berpendapat bahwa perbuatan “melanggar baku mutu air limbah” identik dengan “mencemarkan air Kali Surabaya” yang merupakan tindakan pidana lingkungan dan terkena pasal 22 UULH. Dari sudut pandang yang demikian dapatlah dimengerti, mengapa sampai terjadi perbedaan persepsi dalam proses pemeriksaan perkara “pencemaran” kali Surabaya tersebut yang dapat dibahas dalam pemikiran hukum lingkungan.
Perbuatan terdakwa sesuai dengan pemeriksaan air limbah oleh laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) sebagai saksi ahli, terbukti melanggar Baku Mutu Air Limbah yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 44 Tahun 1987 Tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur, dan bukan mencemarkan air Kali Surabaya yang tunduk pada pasal 22 UULH. Air Kali Surabaya yang menjadi pencemaran akibat perbuatan terdakwa yaitu korban pencemaran, tidak pernah diajukan sebagai alat bukti untuk syarat pembuktian hubungan kausal antara limbah terdakwa dengan cemarnya air yang merupakan salah satu unsur delik lingkugan. Dengan demikian pertimbangan hakim tentang asas In Dubio Pro Reo (yang menguntungkkan bagi terdakwa) karena perbedaan hasil pemeriksaan tentang besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam limbah tahu oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kanwil Dep. Perindustrian Jawa Timur dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dalam kasus ini, menjadi tidak relevan. Walaupun belum sepenuhnya berlandaskan pemikiran hukum lingkungan kepemidanaan, namun putusan Majelis Hakim cukup beralasan, yaitu terdakwa terbukti melakukan pembuangan limbah industry tahu ke kali Surabaya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dapat dimengerti, karena alat buktinya limbah tahu, bukan air kali Surabaya yang sudah tercemar secara kumulatif. Air mempunyai sifat “self-purification”  kalau hanya menerima limnbah. Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif yang sanksinya diatur dalam pasal putusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 Tahun 1987 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur.
Dari rumusan pasal 8 di atas, jelaslah bahwa sanksi perbuatan mekanggar Baku Mutu Air Limbah tidak diatur sewaktu terjadinya kasus limbah tahu Sidoarjo baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Semua peraturan hukum yang dimaksud dalam pasal 8 tersebut tidak mengatur tentang perbuatan “ Melanggar Baku Mutu Air Limbah”. Dapat dimengerti, karena pada waktu itu (1987), pembuat peraturan masih dalam proses belajar tentang hukum lingkungan. Hal ini  terbukti dalam hal dari perbedaan pengaturan sanksi yang kemudian diberlakukan terhadap perlanggaran sejenis, yaitu pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Dengan berlakunya keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 136 Tahun 1994 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha Lainnya di Jawa Timur, tanggal 21 November 1994, Keputusan Gubernur KDH tingkat I Jawa Timur No. 414 Tahun 1987 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari ketentuan di atas Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perbuatan ”Melanggar Baku Mutu Air Limbah“ penyelesaiannya bukan melalui jalur pengadilan tetapi merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif dengan konsekuensi sanksi administrasi. Dewasa ini perbuatan tersebut tunduk pada pasal 33 PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. Keputusan Gubernur KDH tungkat I Jawa Timur No. 136 Tahun 1994.
Setelah keputusan PN Sidoarjo memutuskan membebaskan terdakwa dari segala hukuman maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 No. 122/pid/1988/PN.Sad. Mahkamah Agung dalam putusan rek. 1479/K/pid/1989, tanggal 20 Maret 1993 memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan “karena kelalaiannya melakukan oerbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup“. Kendatipun demikian, terdakwa “hanya” dihukum kurungan 3 (tiga) bulan dengan waktu percobaan 6 (enam) bulan, di samping itu terdakwa juga dihukum dengan pidana denda dengan Rp 1.000.000, 00 (satu juta rupiah).
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa perlu dikaji Ratio Decidendi yang melandasi putusan, khususnya masalah pencemaran itu:
1.      MA mengakui bahwa merupakan  kewenangan aparatur tata usaha Negara untuk menentukan batas kadar keamanan untuk masing – masing objek lingkungan yang harus dilindungi. Sehubungan dengan itu, oleh pejabat TUN ditentukan pula standar kadar limbah yang boleh dibuang ke air. Masalahnya adalah mengapa keputusan pejabat TUN yang dilanggar dikenakan sanksi pidana oleh MA?
2.      Pertimbangan MA yang cukup memprihatinkan adalah menimbang bahwa walaupun secara individu membuang limbah melebihi yang diperbolehkan An sich memang baru merupakan perbuatan yang potensial dapat mencemarkan lingkungan, namun hal itu tidak berlaku dalam perkara ini, karena dalam perkara ini kesalahan terdakwa merupakan satu dari sekian banyak perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai itu, maka pembuangan limbah yang melampaui ambang batas yang diperbolehkan yang dilakukan terdakwa (yang ternyata bersama – sama dengan perusahaan lain itu) harus dianggap mencemarkan air sungai tersebut.
3.      MA berpendapat bahwa, berdasarkan keterangan – keterangan terdakwa, saksi – saksi serta bukti surat – surat yang dihasilkan dalam persidangan, terdakwa harus dinyatakan telah terbukti lalai memenuhi syarat- syarat pembuangan limbah yang baik dengan demikian, terdakwa harus dinyatakan terbukti akan dakwaan subsidair.
Dari berkas perkara putusan MA termaksud, tidak ditemukan argumentasi hukum lingkungan bahwa karena kelalaiannya terdakwa terbukti melakukan perbuatan menyebabkan tercemarnya air kali yang pembuktiannya menyimpang dari pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurang nya 2 alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sampai sekarang belum ada aturan hukum yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar Baku Mutu Air Limbah adalah tindak pidana, yang berarti terdakwa tidak melakukan delik lingkungan, sehingga dapat dikatakan bahwa MA melanggar asas legalitas (pasal 1 KUHP).
            Menurut Siti Sundari Rangkuti, sebenarnya kasus Sidoarjo dapat diproses sebagai perkara pidana pencemaran air Kali Surabaya dengan syarat agar unsur-unsur delik lingkungan sebagai delik materiil berhasil dibuktikan. Untuk dapat dijadikan alat bukti adalah air Kali Surabaya, bukan air limbah tahu sehingga dapat dibuktikan unsur hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan tercemarnya air Kali Surabaya. Dasar hukum yang berlaku adalah keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air di Jawa Timur. Prosedur pembuktian didasarkan pada baku mutu air sebelum limbah tahu dibuang. Apabila setelah air limbah tahu di buang ke Kali Surabaya, penggolongan dan baku mutu air berubah menjadi turun kualitasnya, melalui ketentuan dalam keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal UULH (sekarang pasal 41-44 UULPH) Tentang Tindak Pidana Lingkungan sebagaimana diketahui, delik lingkungan hanya menyangkut perbuatan konkrit.
Dengan mengkaji putusan MA tentang kasus limbah tahu di atas sebagai bahan pemikiran dapatlah dikemukakan bahwa putusan MA itu :
1.      Melanggar asas legalitas.
2.      Melanggar baku mutu air limbah tanpa dasar hukum yang konkrit yang dinyatakan sebagai delik.
3.      Pengertian delik pencemaran air dalam pasal 22 UULH tidak dikaitkan dengan pasal 1 angka 7 UULH.
4.      Tidak sesuai dengan pasal 183 KUHAP tentang alat bukti.

Saran dari saya pribadi, Pemerintah seharusnya lebih menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan maupun pelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau peraturan perundang-undangan saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama pada proses penegakan di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu peradilan dapat lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau peraturan perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak hanya berkompeten di bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi.

Sumber:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar